Selasa, 09 Juni 2015

Diagnostik Potensial Autisme Anak Usia Dua Tahun

Peneliti lemari asam Frank H. Duffy, MD, dari jurusan Neurologi dan Heidelise Als, PhD, dari jurusan psikiatri di Rumah Sakit Anak Boston, membandingkan data EEG kasar dari 430 anak autism dengan 554 subjek kontrol, berusia 2 hingga 12 tahun, dan menemukan kalau anak penderita autism memiliki pola EEG yang konsisten menunjukkan berubahnya keterhubungan antara daerah otak – umumnya, koneksi berkurang dibandingkan kontrol.

Sementara konektivitas berubah terjadi di otak pada anak autisme, daerah bahasa belahan otak kiri tetap, menunjukkan konektivitas berkurang dibandingkan dengan anak neurotipikal, konsisten dengan penelitian pencitraan neuro. Temuan ini diterbitkan tanggal 26 Juni dalam jurnal online   BMC Medicine.

Duffy dan Als berfokus pada anak dengan autisme klasik yang dirujuk untuk EEG oleh ahli neurologi, psikolog, atau pediatrik perkembangan untuk menghilangkan gangguan kejang. Mereka yang didiagnosis gangguan kejang dikeluarkan, begitu juga anak penderita sindrom Asperger dan autism fungsi tinggi, yang cenderung mendominasi (dan membelokkan) literatur yang ada karena mereka relatif mudah untuk dipelajari. Para peneliti juga mengeluarkan anak dengan sindrom genetik terkait autism (seperti Fragile X atau sindrom Rett), anak dirawat untuk penyakit utama lainnya, yang mengalami gangguan inderawi seperti kebutaan dan ketulian, serta mereka yang sedang dalam pengobatan.

"Kami mempelajari anak autistik tipikal dengan melihat spesialis perilaku – anak yang secara tipikal tidak bekerjasama dengan baik dengan EEG dan sangat sulit dipelajari," kata Duffy. "Tidak ada yang telah mempelajari sampel besar anak ini dengan EEG, sebagian karena sulitnya memperoleh perekaman EEG dari mereka."

Para peneliti menggunakan teknik yang dikembangkan di Rumah Sakit Anak Boston untuk memperoleh rekaman EEG saat terjaga dari anak autisme, seperti membolehkan mereka istirahat. Mereka memakai algoritma komputer untuk menyetel gerakan tubuh dan mata anak dan aktivitas ototnya, yang dapat mengganggu pembacaan EEG.

Untuk peraturan lemari asam mengukur konektivitas di otak, Duffy dan Als membandingkan pembacaan EEG dari berbagai elektroda yang diletakkan di kulit kepala anak, dan mengkuantifikasi derajat dimana ada dua sinyal EEG – dalam bentuk gelombang – diselaraskan, yang disebut koherensi. Bila dua atau lebih gelombang naik dan turun bersamaan seiring waktu, ini menunjukkan kalau daerah otak tersebut sangat berhubungan. (Duffy mengibaratkan koherensi dua orang yang menyanyi "Mary Had a Little Lamb" bersama-sama. Bila mereka dapat melihat dan mendengar satu sama lain, mereka lebih mungkin bernyanyi selarasa – jadi koherensi mereka tinggi.)

Dalam semuanya, memakai teknik komputasi, para peneliti membuat pembacaan koherensi lebih dari 4 ribu kombinasi sinyal elektroda unik, dan mencari yang terlihat beraneka ragam bagi sebagian besar anak. Dari sini, mereka menemukan 33 faktor koherensi yang secara konsisten membedakan anak dengan autisme dari kontrol, pada semua kelompok usia (2 hingga 4, 4 hingga 6, dan 6 hingga 12 tahun).

Duffy dan Als mengulang analisis mereka 10 kali, membagi populasi studi mereka menjadi separuhnya untuk menentukan faktor-faktor, separuhnya lagi untuk menguji dan memvalidasinya. Tiap kali, skema klasifikasinya tervalidasi.

"Faktor-faktor ini memungkinkan kami membuat aturan pembeda yang sangat signifikan dan sangat dapat diulang," kata Duffy. "Ia tidak mengambil apapun kecuali sebuah EEG – sisanya komputasional. Pilihan variabel kami sepenuhnya bebas bias – data memberi tahu kami apa yang harus kami lakukan."

Para peneliti percaya temuan mereka dapat menjadi landasan uji diagnostik yang objektif di masa depan untuk menguji autisme, khususnya pada anak ketika ukuran berbasis perilaku tidak handal. Tujuan segera mereka adalah mengulang studi mereka pada anak dengan sindrom Asperger dan melihat apakah pola EEG mereka sama atau berbeda dengan autisme. Mereka juga berencana mengevaluasi anak yang autismenya berasosiasi dengan kondisi seperti tuberous sklerosis, sindrom fragile X, dan kelahiran sangat prematur.

Senin, 08 Juni 2015

virtual office jakarta barat - REI Minta Penyaluran KPR Inden

Hingga akhir tahun ini sektor virtual office jakarta barat properti diprediksi belom akn membaik. Kondisi perekonomian nasional dan global dinilai belum mendukung kebangkitan industri properti. Melemahnya mata uang rupiah jg dinilai makin menekan perkembangan sector ini mengingat beberapa komponen dlm industri properti masih menggunakan material impor. Selain itu, menurut Ketua Realestate Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman, regulasi yg diterapkan pemerintah jg tdk kondusif. Salah satunya ketentuan tentang loan to value (LTV) atau rasio antara nilai kredit dengan nilai aset (agunan).

Untuk hunian di atas 70 m2 bank cuma boleh membiayai maksimal 70 persen sehingga konsumen mesti menyediakan uang muka 30 persen. Rasio ini telah direvisi, maksimal pembiayaan 80 persen atau depe 20 persen. Bank Indonesia (BI) jg melarang penyaluran KPR inden.

“Kalau ingin industri properti kembali bergairah, pemerintah mesti membuka lagi KPR inden. Skema ini dapat membantu konsumen dan jg bank, konsumen yang dananya terbatas dpt mencicil ke developer, nanti setelah cukup cicilannya dioper dengan KPR dari bank, jadi bank jg sudah ada kepastian untuk memeroleh nasabah,” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Senin (8/6).

Menurut Amran, konsumen properti sebenarnya tidak berkurang. Tapi lantaran beragam regulasi itu banyak konsumen menahan diri. Soal LTV, banyak kalangan muda yg baru memulai bisnis dengan membeli ruko gak dapat lagi membeli rumah. Mereka ngga punya dana cukup untuk membeli properti kedua - service office jakarta barat.

“Jadi kendala yg terjadi di lapangan justru bukan karena pasar tapi karena aturan yang ngga mendukung iklim bisnis ini. Kalau KPR inden dibuka lagi, LTV dilonggarkan, pasar properti pasti bergairah yang pada ujungnya juga memberikan pajak yg besar bagi pemerintah,” imbuhnya.

Jumat, 05 Juni 2015

Pengembang Sewa Virtual Office di Jakarta, Jangan Mengambil Untung Terlalu Banyak

sewa virtual office di jakarta - Menteri Agraria serta Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN),  Ferry Mursyidan Baldan, meminta kalangan pengembang mendukung program sejuta hunian dgn tak  mengambil untung terlalu banyak.  Boleh mengambil untung tetapi sewajarnya.

“Tentu namanya usaha swasta harus untung, tapi jangan ambil terlalu banyak dari program sejuta rumah, jadi mesti ada visi yang diemban,” ujarnya di rapat kerja daerah (Rakerda) DPD Realestat Indonesia (REI) Jawa Timur di Surabaya, Rabu (3/6).

Ferry mengatakan kementeriannya akan aktif mendukung kerja sama dgn pengembang yang membangun rumah murah. Instansinya akan proaktif dan hadir untuk memastikan hal-hal yang menghambat penyediaan rumah harga terjangkau dapat diselesaikan.

Untuk mempercepat program sejuta rumah BPN tengah mengerjakan proses perubahan regulasi terkait dengan pendaftaran tanah utk pertama kali. Ferry memastikan kebijakan yang akn dibuat utk memberikan kepastian terkait waktu penyelesaian maupun biaya yg hrs dikeluarkan - service office jakarta pusat.

Ferry mengingatkan semua pihak agar pembangunan hunian harga murah tdk menambah beban masyarakat.  Misalnya lokasi perumahannya jauh dan infrastrukur pendukungnya tak siap sehingga biaya trasportasinya membengkak. “Pendekatannya membangun ruang kehidupan, karena tersebut infrastruktur hrs memadai serta akses mudah.  Yang tadinya ke sekolah dapat berjalan jangan kemudian harus naik ojek,” tandasnya.